Tahun 2003,, di sebuah ibu kota yang seperti layaknya kota tak pernah mati-mungkin itu adalah kata yang cukup menggambarkan keadaan setiap harinya disana. Terletak di dekat pantai yang bersebelahan dengan pulau lainnya, menjadi sorotan setiap kota lainnya bahkan mungkin Negara-negara tetangga. Kota Shenan,, sebuah ibu kota tempat ku boleh tinggal menetap bersama kedua orang tuaku sejak mereka masih muda, bahkan belum menikah. Banyak orang ingin sekali tinggal di kota besar seperti itu, kata mereka banyak pekerjaan yang lebih mendatangkan penghasilan disana. Meskipun belum jelas apapun pekerjaan mereka nanti, itu urusan belakangan yang akan mereka hadapi; yang terutama adalah menetap di kota Shenan itu. Udara disana panas, hanya sedikit angin yang berhembus menerbangkan dedaunan yang jatuh dari pohon-pohon beringin, penuh asap knalpot kendaraan setiap harinya, dan mobil angkutan yang dengan sembarangan mengemudi pun berkeliaran dimana saja. Gedung-gedung tinggi menjulang di pusat kota-bersebelahan dengan rumah-rumah gubuk yang terbuat dari bilik bambu berjejer di bantaran kali. Sungguh sangat membingungkan, penataan kota yang masih belum teratur akan tetapi mungkin itu adalah daerah yang terbaik menurut masyarakatnya. Yuph,, sudah dapatkah kalian membanyangkannya ???
Aku tinggal bersama dengan kedua orang tuaku di sebuah rumah yang cukup untuk kami bertiga, kami baru saja pindah rumah yang cukup jauh dari pemukiman karena ayah harus menjalankan tugas dinasnya disini sebagai dokter ahli bedah. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang cukup cerewet mengatur segala sesuatu halnya dengan perfectionist, hal ini dan itu harus terlihat baik di matanya. Pindah rumah hampir boleh dikatakan juga berganti pola kehidupan, kebiasaan yang belum terbiasa harus dipelajari kembali. Hari itu aku harus memasuki sekolah menengah atas di salah satu sekolah terbaik di daerahku, tentu saja itu pilihan ibuku yang menurutnya ‘baik’. Sekolah itu terlihat sangat megah dan kokoh, lantainya bersih bak marmer yang tiap harinya di bersihkan. Kaca-kaca jendela yang besar memungkinkan cahaya masuk lebih banyak dan pintu-pintu kelas yang dapat dibuka dengan hanya menekan tombol otomatis. Menurutku ini adalah sekolah yang bayarannya mahal, dengan dilengkapi segala fasilitas yang terbilang modern dan hanya sebagian orang saja yang dapat memahaminya.
Hari pertamaku disekolah itu adalah saat-saat Masa Orientasi Siswa yang sengaja khusus dibuat untuk siswa yang baru masuk, lebih tepatnya siswa kelas 1. Aku memasuki kelas 1-3; kelas yang berdasarkan peringkat kecerdasan tes IQ menempati peringkat ke-3 dari 6 kelas yang ada. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena pada hari itu juga semua siswa berprestasi maupun kurang berprestasi di leburkan menjadi satu kelas. Dan aku pun pindah ke kelas 1-4 bersama wajah-wajah yang tentu saja sangat asing bagiku, belum pernah kulihat sama sekali. Diantara mereka ada yang sudah saling mengenal satu sama lain dikeranakan sudah bersama sejak SMP atau bahkan sejak SD. Aku duduk dengan teman sebangku Mansy, dia seorang gadis yang manis dengan senyumannya menyapaku berkenalan. Aku duduk di tempat paling belakang kelas, melihat sekeliling-terasa asing bagiku. Tanpa kusadari matahari pagi itu menembus meja belajarku dari sebalah kanan ruang kelas, tidak begitu menyilaukan karena terhalang oleh siswa yang duduk di seberang koridor tempat dudukku. Rambutnya terlihat memerah karena sinar matahari itu, kacamatanya pun terlihat menjadi kebiruan-ungu menandakan itu adalah kacamata minus. Cukup membuatku terpesona dengan keadaan seperti itu, Ia sedang terdiam melihat kedepan ruang kelas mengamati senior kami yang sedang mengabsen nama kami satu per satu. “Greg Dvinson” terdengar suara senior kami memanggil nama itu dan Ia pun mengangkat tangan kanannya menandakan dialah nama dari orang yang dimaksud.
Hari itu amat melelahkan bagiku, terkejut dengan berbagai hal, mulai dari cara berpkaian seragam anak sekolah yang berbada dengan tempat tinggalku dulu (dengan celana panjang abu abu yang bagian bawahnya dibuat melebar seperti tahun ‘80an, rok yang berada 15cm diatas lutut, dan baju-baju mereka yeng terlihat sangat pas dibadan mereka sehingga hampir sulit untuk bernapas) sampai cara mereka berbicara. Selama perjalanan pulang yang kulakukan hanya mengkhayalkan tempat tinggalku dulu, sejuk penuh dengan pepohonan yang amat rindang, rumah yang minimalis dengan segala kesempurnaanya. Sejenak ingin sekali pergi kesana, menikmati indahnya pagi hari ditemani dengan kicauan burung gereja dan sore hari dengan matahari senja, tiupan angin sepoi menghamburkan dedaunan yang berjatuhan di tanah. Mungkin ada nanti tiba saatnya aku akan kembali kesana, menemui seseorang yang kutinggalkan dengan semua pertanyaan yang ada di pikiranku. Apakah Ia sudah meninggalkan kota itu juga ?
Sekolah di hari selanjutnya terasa lebih menyenangkan, aku sudah mempunyai beberapa teman unruk berbagi canda dan tawa. Mansy teman sebangku ku, Sherlla, Robbin, dan Oliv. Kami sangat cepat akrab, menikmati waktu istirahat siang bersama sambil makan di kantin sekolah.
“eh lihat, itu Greg kan?” tiba-tiba suara Mansy membuat kami melihat spontan kearah yang dimaksud.
“iya benar. Dengar-dengar permainan kasti nya sangat handal loh.” Sambung Robbin.
“begitukah ??” oliv terkejut
“iya, aku mendengar katanya dia pernah mengikuti perlombaan kasti di tingkat nasional dan menjadi pemukul terhebat dalam perlombaan tersebut” sambung robbin.
Mendengar percakapan mereka, tanpa terasa aku menjadi terkesima melihat Greg menyampiri salah satu warung dan memesan makanan, dia memesan bakso tahu kemudian duduk disalah satu bangku tak jauh dari tempat ku dan teman-teman duduk juga. Memperhatikan setiap gerakan yang ada, sepertinya Ia memang memilki kekhasan dalam berperilaku, yaitu cool. Sebernarnya aku pun malas untuk mengakuinya.
### please wait and see the next post blog ###
No comments:
Post a Comment